Berpura-pura seringkali diasosiasikan dengan sesuatu yang negatif—seolah tidak jujur pada diri sendiri atau orang lain. Namun, dalam konteks mengejar impian, berpura-pura justru bisa menjadi strategi yang kuat. Ini bukan soal membohongi dunia, melainkan tentang meyakinkan diri sendiri bahwa kita bisa, bahkan ketika kepercayaan diri sedang rapuh. "Fake it till you make it" bukan sekadar slogan, tapi pendekatan psikologis yang banyak digunakan oleh mereka yang ingin melampaui batas diri. Dengan berpura-pura percaya diri, kita melatih pikiran untuk benar-benar menjadi percaya diri.
Banyak tokoh sukses memulai langkah mereka dengan bersikap seolah-olah mereka sudah menjadi seperti yang mereka impikan. Seorang calon pembicara publik mungkin berpura-pura tenang di atas panggung, padahal jantungnya berdebar kencang. Namun dari situ, tubuh dan pikiran mulai terbiasa, dan perlahan, kepura-puraan itu menjadi kenyataan. Berpura-pura menjadi versi terbaik dari diri sendiri adalah bentuk visualisasi yang kuat—seakan menanamkan program ke dalam otak bahwa “saya mampu”. Dan, secara tidak sadar, tindakan kita mulai selaras dengan identitas yang sedang kita bangun itu.
Tentu, berpura-pura bukan berarti kehilangan keaslian. Ini bukan soal menjadi orang lain, tetapi mempercepat proses pertumbuhan pribadi. Ketika kita merasa belum pantas atau belum mampu, berpura-pura bisa menjadi jembatan yang mengantarkan kita melewati fase ragu dan tidak percaya diri. Dengan catatan, kepura-puraan ini harus tetap diiringi dengan kerja nyata, bukan hanya topeng kosong. Sebab kekuatan sejati dari berpura-pura adalah saat kita melakukannya dengan kesadaran dan tujuan—bukan untuk mengelabui, tapi untuk menguatkan.
Pada akhirnya, berpura-pura bukanlah tentang menipu orang lain, tapi tentang membentuk kebiasaan mental menuju versi terbaik diri kita. Jika dilakukan dengan tulus dan konsisten, berpura-pura bisa menjadi alat transformatif yang luar biasa. Kita menanamkan impian ke dalam realitas melalui tindakan-tindakan kecil yang seolah berkata, “Aku sudah sampai di sana.” Dan perlahan, mimpi44 itu tidak lagi terlihat jauh—karena kita telah berjalan ke arahnya, satu langkah percaya diri pada satu waktu.